KERAJAAN MATARAM ISLAM


A. Awal perkembangan Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan Mataram yaitu :Penembahan Senopati (1584-1601)Panembahan Seda Krapyak (1601-1677).
Dalam sejarah Islam,Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (Indonesia). Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak islam di Jawa.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Akan tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya.
Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.Hubungan yang tegang antara sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
Daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam
daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam
Pada tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Sebagai raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh tanah Jawa.

B. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sultan. Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Sedaing Krapyak (1601 – 1613). Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”. Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.
Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun yang sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.
Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk mengempung Batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah Jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat Sastra Gendhing. Adapun kitab serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah babad tanah Jawi.
Di antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran islam.

C. Kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Sultan Agung
Kemajuan yang dicapai meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu :

a. Bidang Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
a. Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha inidimulai dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,Pasuruhan, kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islamdi Pulau Jawa ini ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu Wandansari
b. Anti penjajah Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan.Adapun penyebab kegagalannya, antara lain:
- Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
- Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi lemah.
- Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba modern.
- Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin memperlemah kekuatan.
- Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut,sedangkan Mataram lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai Belanda tanpa bantuan Portugis.
- Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
- Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat. Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awal sehingga rencana penyerangan Mataram ini diketahui Belanda.
- Akibat penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini diketahui Belanda sebelumnya.

b. Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:

- Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka.
- Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik,tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
Image and video hosting by TinyPic
c. Bidang sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut: 

a. Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa denganIslam. Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Sampai kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.

b. Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah).Sejak tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai“tahun Jawa”. 

c. Berkembangnya Kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat,termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M.Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana isi Perjanjian Giyanti (1755) berikut:
- Mataram Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta.
- Mataram Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta.Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta pecah menjadi dua yaitu Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta juga terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan ini terjadi karena campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah kekuatan Mataram, sehingga mudah untuk di kuasai.Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul ,Yogyakarta. Selanjutnya,Mataram diperintah oleh putranya, SunanTegalwangi, dengan gelar Amangkurat I ( 1646 – 1677). Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram mulai mundur. Wilayah kekuasaan mataram berangsur-angsur menyempit karena direbut oleh kompeni VOC. Yang paling mengenaskan, pada tahun1675, Rade Trunajaya dari Madura memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya berhasil menguasai keraton Mataram yang waktu ituteletak di Plered. Amangkurat terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.Sepeninggal Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkanDinasti Paku Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya. Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden. Saat ini, keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.

Aspek Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan,dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk

Aspek Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan 
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram. Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam. Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.E.

Puncak Kejayaan Mataram Islam
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie ) Belanda.Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti kolonialisme itumenyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629). Menurut Moejanto sepertiyang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,dan tidak terbagi-bagi.

Kemunduran Mataram Islam
Kemunduran Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang.

D. Silsilah Raja dan Sistem Pemerintahan 
1. Ki Ageng Pamanahan ( Ki Gede Pamanahan )
- Pendiri desa mataram tahun 1556
- bergelar Panembahan Senapati dibawah pimpinan anaknya
- Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela
- menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
- Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang (murid Ki Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
- Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujukHadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
- Meninggal tahun 1584
2. Sutawijaya ( Danang sutawijaya )
- pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601
- bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
- dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
- putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
- Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga
- Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
- Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
- Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
- meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede.
3. Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati / Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram ) 
- raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613
- putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik). Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
- Pada tahun 1610 melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut. Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
- meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak"
4. Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma )( nama asli : Raden Mas Jatmika )
- lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645
- raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645
- Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.( puncak kejayaan )
- Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal3 November 1975.
- putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.( putri Pangeran Benawa raja Pajang ( Dyah Banowati ))
- Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik.
- kemunduran kerajaan mataram Islam akibat kalah dalam perang merebut Batavia dengan VOC
- menyerang Batavia sebanyak 2x.
serangan pertama ( 1628 ) terjadi di benteng Holandia, dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa, dan Pangeran Mandurareja sebanyak 10.000 pasukan akan tetapi gagal. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Serangan kedua ( 1629 ) dipimpin Adipati Ukur dan Adipati Juminah Total semua 14.000 orang prajurit. serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
5. Amangkurat I (Sri Susuhunan Amangkurat Agung)
- Memerintah pada tahun 1646-1677
- Memiliki gelar anumertaSunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum
- Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupatiBatang (keturunan Ki Juru Martani).
- Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
- memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
- mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas
- menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat.
- Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
- Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
- hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
- tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat.Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal
6. Amangkurat II (Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat )
- putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekikdari Surabaya.
- memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III)
- Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaituPangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura.
- Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaituAmangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.
- Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utaraJawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
- Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.
7. Amangkurat III (Nama aslinya adalah Raden Mas Sutikna )
- memerintah antara tahun 1703– 1705.
- dijuluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom, ia menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
- Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun adik Ayu Lembah.
- Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua pusaka keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso hanya karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun. Dari sana ia kemudian pindah ke Kediri.
- Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
- Pangeran Blitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
- VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka.
- Meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
- Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
- Perang Suksesi Jawa I (1704–1708), antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I.
- Perang Suksesi Jawa II (1719–1723), antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya.
- Perang Suksesi Jawa III (1747–1757), antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.

BOROBUDUR TEMPLE HISTORY


In Indonesia there is a giant building that is still many mysteries unsolved. That is the Borobudur Temple. According to the history of Borobudur Temple was built by King Smaratungga one of the king of the ancient kingdom of Mataram dynasty dynasty in the 8th century. According to the legend of the Borobudur Temple was built by an architect named seo ... now Gunadharma, but the truth of the news in hirtoris not clearly known.


If we look from a distance, Borobudur will look like a staircase or a similar arrangement of building the pyramids and a stupa. Unlike the giant pyramid in Egypt and the Pyramids of Teotihuacan in Mexico Borobudur is another version of pyramid building. Borobudur pyramid form kepunden staircase will not be found in the region and any country.


Meanwhile, when viewed from the air, the Borobudur Temple is similar to the shape of lotus. Lotus is one of the symbols used in homage (worship) religion of Buddha, symbolizing purity, remind Buddhists to always keep the mind and heart remain clean despite being in an environment that is not clean.

1930s W.O.J. Nieuwenkamp never give scientific fantasy of the Borobudur Temple. Supported research on geology, Nieuwenkamp said that Borobudur stupa instead referred to as a building but as a lotus flower floating on the lake. The lake is now dry at all, used to cover a portion of Kedu lying areas that lie around the hill of Borobudur. Aerial photo Kedu area does give the impression of a vast lake around the Borobudur Temple.

According to ancient scriptures, a temple founded in the vicinity bercengkeramanya the gods. The peak and slope of the hill, an area of ​​volcanic activity, plateaus, banks of rivers and lakes, and the confluence of two rivers is considered to be a good location for the establishment of a temple.
What's interesting is the name Borobudur temple architect, who named Gunadharma. But who Gunadharma? There are no historical records about a character named Gunadharma this. It is estimated Gunadharma is a symbol of the name of someone who has exceptional intellectual. There is an assumption that the Borobudur Temple was built with the help of 'other beings'.

Basic materials making up the Borobudur Temple is a rock that reaches thousands of cubic meters of them. A stone weighing hundreds of kilograms. Remarkably, to glue the stones do not use cement. Antarbatu only linked to each other, the stone top-down, left and right, and rear-front. When viewed from the air, then the form of Borobudur Temple and statue-statue relatively symmetrical. The greatness of another, nearby Borobudur temple and there are Mendut Pawon. Apparently Borobudur, Mendut, and if drawn the line Pawon Khayat, are in a straight line.

Borobudur is a Buddhist temple, situated in the village of Borobudur Magelang regency, Central Java, was built by King Samaratungga, one of the kings of Old Mataram Kingdom, Dynasty descendant dynasty. The name Borobudur is a combination of words and Budur Bara. Bara from Sanskrit means ... temple or monastery complex. While Budur derived from the word meaning beduhur above, thereby Borobudur means monastery on the hill. Meanwhile, according to other sources means a gunungyang terraces (budhara), while other sources say that Borobudur means monastery on the high ground. Borobudur-shaped building with staircase punden consists of 10 levels, measuring 123 x 123 meters. Height 42 meters before it was renovated and 34.5 meters after the renovation because the lowest level is used as a drag. This Buddhist temple has 1460 relief panels and 504 Buddha effigies in the complex. Six lowest level of a square and three levels on top of a circle and one of the highest levels of Buddhist stupa facing to the west.


Each level represents the stages of human life. In accordance madhhabs Mahayana Buddhism, every person who wants to reach the level as the Buddha had to through every level of life is.

* Kamadhatu, the base of Borobudur, symbolizing human beings that are still bound by lust.
* Rupadhatu, four levels above it, symbolizing human beings that have been able to break free from lust but still bound manner and form. On this terrace, Buddha effigies are placed in open space. 
* Arupadhatu, three levels above where the Buddhist stupa placed in the holes. It symbolizes man who has been free from lust, appearance, and shape. 
* Arupa, the top that symbolizes nirvana, where Buddha is residing.

Each level has reliefs that will be read coherently run clockwise (towards the left of the entrance of the temple). The relief panels tell the legendary story, a variety of story content, among others, there are reliefs of the Hindu epic Ramayana, there are reliefs Jataka stories. In addition, there are relief panels describing the condition of society at that time. For example, relief of farmers' activity reflecting the advance of agriculture system and relief of sailing boat representing the advance of the voyage who was based in Bergotta (Semarang).

All relief panels in Borobudur temple reflect the Buddha's teachings. A Buddhist from India named Atisha, the 10th century, had visited the temple that was built 3 centuries before Angkor Wat in Cambodia and 4 centuries before the Grand Cathedrals in Europe. Thanks to visiting Borobudur and armed with a script from Serlingpa Buddhism (one of the king of the Kingdom of Sriwijaya), Atisha was able to develop Buddhism. He became head Vikramasila monastery and taught Tibetans of practicing Dharma. Six manuscripts of Serlingpa was condensed into a core course called "The Lamp for the Path to Enlightenment" or better known by the name Bodhipathapradipa.

One of the questions still unanswered about Borobudur is how the condition around the temple was built and why the temple was found in the buried state. Some say Borobudur initially stood dikelilingii swamp and then buried by the eruption of Merapi. It is based on Calcutta inscription reads 'Amawa' means sea of ​​milk. The word is then interpreted as lava of Merapi, probably buried by cold lava of Merapi Borobudur. The villages around Borobudur, as there Wanurejo Karanganyar and activities of local crafts. In addition, the peak watu Kendil an ideal place for panoramic views from the top of Borobudur. Earthquake on 27 May 2006 had no impact at all on the Borobudur temple so that the building can still be visited.


The history of Borobudur Temple

About three hundred years ago, where this temple is still a jungle by a resident who called the Redi surrounding Borobudur. For the first time, the name Borobudur is known from the work of MPU Prapanca Negarakertagama manuscript in the year 1365 AD, mentioned about the monastery in Budur. Later in the text of the Babad Tanah Jawi (1709-1710) there is news about Diamond Fund, a rebel against King Pakubuwono I, who was caught in Redi Borobudur and sentenced to death.

Then in 1758, blaze news about a prince from Yogyakarta, namely Prince Monconagoro, who are interested in seeing the statue of a knight who imprisoned in sangkar.Pada 1814, Thomas Stamford Raffles got news of his subordinates on the hill covered with carved stones. Based on the news that Raffles sent Cornelius, an admirer of art and history, to clean up that hill. After cleaning for two months with the help of 200 people population, it became clear the building and restoration of the temple continued in 1825. In 1834, Resident Kedu clean the temple again, and in 1842 the temple stupa reviewed for further research.

The name Borobudur

Regarding the name Borobudur archaeological experts who interpret, among them Prof. Dr. Borobudur Poerbotjoroko explains that the word comes from two words Bhoro and Budur. Bhoro derived from Sanskrit which means bihara or dormitories, while Budur word refers to a word that comes from Bali beduhur meaning above. This opinion is corroborated by prof. Dr. WF. Stutterheim who argue that Borobudur means Bihara on top of a hill.

Prof. JG. De Casparis basing on Middle Reef Inscription mentioning in this new building, which Sangkala Year: Sagara kstidhara sense, or in Caka 746 (824 AD), or on the House of dynasty that glorifies God Indra. In the inscriptions didapatlah Bhumisambharabhudhara name which means a place of worship the ancestors for the souls of his ancestors. How it happens to be a shift in Borobudur? This happens because of the pronunciation of the local community.
Development of Borobudur Temple

Borobudur temple is made in the House of a Buddhist dynasty under the leadership of King Samarotthungga. Who created the temple architecture, based on public utterances named Gunadharma. Construction of the temple was completed in 847 AD According to the inscription K. .. ulrak (784M), making this temple was assisted by a teacher from Ghandadwipa (Bengalore) named Kumaragacya a highly respected, and a prince from Kashmir named Visvawarman as an expert adviser in the teaching of Tantric Vajrayana Buddis. Construction of this temple began during the Maha Raja Sri Sanggramadananjaya Dananjaya whose surname, followed by his son, Samarotthungga, and by a granddaughter, Dyah Ayu Pramodhawardhani.

Before the restoration, just the Borobudur Temple in ruins as well as artifacts newly discovered temple. Subsequent restoration by Cornelius at the Raffles and Resident Hatmann, after that period is then performed in 1907-1911 by Theodore van Erp who rebuilt the temple from the ruins of the order form for the time eaten up the form now.

Van Erp is actually an engineer building Genie military with the rank of lieutenant, but then attracted to research and learn the ins and outs of Borobudur temple, began to philosophy through the teachings they contain. For that he tried to do a comparative study for several years in India. He also went to Sri Lanka to see the composition of the top building Sanchi stupa in Kandy, until finally van Erp discovered form of Borobudur Temple. While the foundation of philosophy and religion was found by the Stutterheim and NJ. Chromium, which is about the teachings of the Buddha Dharma by Mahayana Buddhism, Yogacara and there is a tendency also mingled with the flow Tantrayana-Vajrayana.

Research on the composition of the temple and the philosophy that carries itself requires a substantial time, especially if linked with other temple buildings are still one family. Just as the Borobudur temple with Pawon and Mendut which are geographically located in one lane.
Material Borobudur


Borobudur is the second largest temple after Ankor Wat temple in Cambodia. Borobudur Temple building area 15,129 m2, composed of 55,000 m3 of stone, from 2 million pieces of rocks. The average stone size 25 cm X 10 cm X 15 cm. Long pieces of stone as a whole 500 km with a total weight of 1.3 million tons of stone. The walls of Borobudur Temple surrounded by pictures or reliefs which is a series of stories in 1460 terususun panel. The length of each panel 2 meters. If the series of reliefs that stretched the length of relief wholly approximately 3 km. The number of levels there are ten, 1-6 levels of a square, while the 70-10 round. Arca found throughout the temple buildings totaling 504 units. High temple of the surface soil until the end of the main stupa was once 42 meters, 34.5 meters but now lives after being struck by lightning.

According to the survey an anthropologist, ethnologist Austria, Robert von Heine Geldern, the ancestor of the Indonesian people are familiar with grammar and culture in the Neolithic period Megalithic originating from South Vietnam and Cambodia. At the Megalithic era ancestors of Indonesia make the tomb of his ancestors as well as a place of worship tiered pyramid building, getting to the top smaller. One of them found in Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor, West Java. Similar buildings are also found in the Temple Sukuh near Solo, Borobudur Temple also.

If we look from a distance, Borobudur will look like a staircase or a similar arrangement of building the pyramids and a stupa. Unlike the giant pyramid in Egypt and the Pyramids of Teotihuacan in Mexico Borobudur is another version of pyramid building. Borobudur pyramid form kepunden staircase will not be found in the region and any country, including in India. This is one of the advantages of Borobudur temple which is a typical Buddhist architecture in Indonesia.

The mystery surrounding the Borobudur Temple

Until now there are some things that still a matter of mystery surrounding the founding of the Borobudur Temple, for example in terms of rock composition, how to transport the stone from the area of ​​origin to destination, whether the stones were already in the desired size or is still a form of native mountain stone , how long the process of cutting the stones until the desired size, how to raise the stones from the bottom of the page to the top of the temple, crane equipment is used ?.

Image of relief, whether the stones were installed after the last picture, or just plain stone carved in a state to be drawn. And starting from the part where the image was carved, from top to bottom or from bottom to top? there are many more mysteries that have not been scientifically revealed, especially about the space that is found on the main stupa of the temple and the statue of Buddha, at the center or the zenith of the temple in the largest stupa, believed there had been a statue of an imperfect depiction Adibuddha which is still a mystery.

Candi Prambanan Legend


In the old days of Java Island, in a region called Prambanan, lies two kingdom. Kingdom of Pengging and Kraton Boko. Pengging kingdom is gifted with a fertile and get prosperous. The kingdom is lead by a wise king named Prabu Damar Moyo and has a male son named Raden Bandung Bondowoso while Kraton Boko is a kingdom that obey under the rules of Pengging. The Boko king is very cruel, he is strong and tall, like a giant. The people of Boko always afraid of the kings anger. Although the king were not handsome, he has a very beautiful daughter called Princess Roro Jongrang.
One day, the king of Boko wants to rebels against the Pengging. Lead by the Boko prime minister, the giant race, Gopolo, the Boko army is prepared to announce the war between Boko and Pengging. They even raid its own people’s properties to support the campaign
Fierce war happens in the borders of the Pengging teritorial mark. Many victims were falling on both sides and people Pengging be suffering because of war, many people hunger and poverty. Knowing his people suffer and have many victims soldiers who died in the borders, then Prabu Damar Moyo sent his son Raden Bondowoso go to war against King Boko. The young Bondowoso is able to defeat king Boko. Seeing the king died, then Prime minister Gupolo escape. Raden Bondowoso pursue Patih Gupolo to Kraton Boko.
After reaching Kraton Boko, Patih Gupolo reported on Princess Roro Jonggrang that his father had been lost in the battlefield, by a knight named Raden Bandung Pengging Bondowoso. Princess Loro Jonggrang wept, saddened his heart because his father had been killed on the battlefield. Raden at Kraton Boko Bondowoso arrived, soom he troubled to see Puteri Raden Bondowoso Loro Jonggrang beautiful, so he wanted to marry Princess Loro Jonggrang as his wife.
As the Boko kingdom is lost in the rebels, and o save her fathers kingdom, the Loro Puteri Raden Jonggrang accept the princes, with some request. She did not want to marry Bondowoso because he had killed his father. To reject the proposal Raden Bondowoso, then Princess Loro Jonggrang have a strategy. The first request, Princess Loro Jonggrang asked for Jalatunda wells (very deep well) while the second request, asked for him to make 1000 temples in one night.
Raden Bandung Bondowoso agreed. Raden Bondowoso Immediately make Jalatunda wells and after so he called Princess Roro Jonggrang to see the well. She trick the prince and send him down. She ask Boko’s prime minister to close the well with heavy rocks so that the prince could not reach the top of the well. Raden Bondowoso is a tough man, he is also smart. Its not a longtime before he was able to come out from the wells. He was very angry to the princess, but soon after meet the princess, he falls again with the beauty of the princess
She ask Raden Bondowoso the second request, to make 1000 temples in 1 night. Bondowoso then command his workers from genie tribe to help him build the 1000 temple. The 1000 temples are building up, one by one with the help of the genie tribes. The princess wants to sabotage the building of the temples. She asks her servants to pound the rice pounding tools and also burns lots of paddy’s straw .
Because of it, the roosters crowed. The genie take a lookto the sky and its brighter in the east. The leader of the genie reported to Bondowoso that they have stopped to make the temple because the morning has arrived. Princess Roro Jonggrang told to count the temples and its only 999 temples, not 1000.
So, Bondowoso won’t be able to marry the princess because he failed to complete the request. Being deceived and tricked, Raden Bondowoso angry and curse Princess Roro Jonggrang. “It’s missing one, and you that should fit the numbers”. The princess is soon turned into a stone statue; it is exist in the heart of the Prambanan temples until now.

Sejarah Kejayaan Kesultanan Mataram, Tahun 1588-1681 dan Pembentukan Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta, Akibat Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755



Mataram merupaken kerajaan berbasis agraris/pertanian & relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yg bisa dilihat sampai kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dlm literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yg masih berlaku sampai sekarang. Kesultanan Mataram ialah kerajaan Islam di Pulau Jawa yg pernah berdiri pada abad ke-17.
Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela & Ki Ageng Pemanahan, yg mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya ialah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di “Bumi Mentaok” yg diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama ialah Sutawijaya [Panembahan Senapati], putra dari Ki Ageng Pemanahan. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa & sekitarnya, termasuk Madura.
Kerajaan Mataram pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Sutawijaya naik tahta sesudah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yg terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta & selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang.
Lokasi keraton [tempat kedudukan raja] pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal [dimakamkan di Kotagede] kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yg sesudah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yg artinya Raja [yang] wafat [di] Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat
Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yg bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.

Sultan Agung Menguasai Pulau Jawa & Madura

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa & Madura [kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, & Jawa Timur sekarang].
Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta [Jw. “kertÃ¥”, maka muncul sebutan pula “Mataram Karta”]. Akibat terjadi gesekan dlm penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yg berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten & Kesultanan Cirebon & terlibat dlm beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat [dimakamkan di Imogiri], ia digantikan oleh putranya yg bergelar Amangkurat [Amangkurat I].

Runut Waktu Kerjaan Mataram

1558-Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
1577-Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584-Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, yg sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang bergelar “Mas Ngabehi Loring Pasar” [karena rumahnya di sebelah utara pasar]. Ia mendapat gelar “Senapati in Ngalaga” [karena masih dianggap sebagai Senapati Utama Pajang di bawah Sultan Pajang].
1587-Pasukan Kesultanan Pajang yg akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya & pasukannya selamat.
1588-Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” artinya Panglima Perang & Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601-Panembahan Senopati wafat & digantikan putranya, Mas Jolang yg bergelar Panembahan Hanyakrawati & kemudian dikenal sebagai “Panembahan Seda ing Krapyak” karena wafat saat berburu [jawa: krapyak].
1613-Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yg digunakan ialah Panembahan Hanyakrakusuma atau “Prabu Pandita Hanyakrakusuma”. Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar “Susuhunan Hanyakrakusuma”. Terakhir sesudah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar “Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman”
1645-Sultan Agung wafat & digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645-1677-Pertentangan & perpecahan dlm keluarga kerajaan Mataram, yg dimanfaatkan oleh VOC.
1677-Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yg diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
1680-Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681-Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
1703-Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704-Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I [1704-1708]. Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708-Susuhunan Amangkurat III ditangkap & dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719-Susuhunan Paku Buwono I meninggal & digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua [1719-1723].
1726-Susuhunan Amangkurat IV meninggal & digantikan Putra Mahkota yg bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742-Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dlm pengasingan.
1743-Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat [menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang] bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745-Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746-Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yg dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yg berlangsung lebih dari 10 tahun [1746-1757] & mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar & satu kerajaan kecil.
1749-11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752-Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran [daerah pantura Jawa] mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754-Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata & perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yg sama.
1755-13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yg membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta & Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar “Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah” atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757-Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yg lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yg sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said [Pangeran Sambernyawa] dengan Sunan Paku Buwono III,VOC & Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yg terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar “Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha”.
1788-Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792-Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795-KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1799-Voc dibubarkan
1813-Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yg terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar “Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam”.
1830-Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta & Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yg tetap antara Surakarta & Yogyakarta & membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, & Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto & de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.

Wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta & Kasunanan Surakarta

Mataram Baru telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, sesudah Perang Diponegoro.Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered [1647], tak jauh dari Karta. Selain itu, ia tak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan “sunan” [dari “Susuhunan” atau “Yang Dipertuan”]. Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan & pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yg dipimpin oleh Trunajaya & memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum [1677] ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum.
Penggantinya, Amangkurat II [Amangkurat Amral], sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yg tak puas & pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura [1680], sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yg lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut ialah Amangkurat III [1703-1708], Pakubuwana I [1704-1719], Amangkurat IV [1719-1726], Pakubuwana II [1726-1749]. VOC tak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I [Puger] sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja & ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak & menjadi “king in exile” sampai tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon. Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III sesudah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta & Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dlm Perjanjian Giyanti [nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah]. Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik & wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta & Kasunanan Surakarta ialah “ahli waris” dari

Perjanjian Giyanti antara VOC dan Mataram, Tanggal 23 September 1754



Perjanjian Giyanti ialah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram [diwakili oleh Sunan Pakubuwana III], & kelompok Pangeran Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tak ikut dlm perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yg ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto & de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yg sepenuhnya independen.
Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti [ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo], di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak [melintasi daerah Prambanan sekarang] dikuasai oleh pewaris tahta Mataram [yaitu Sunan Pakubuwana III] & tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat [daerah Mataram yg asli] diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yg berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yg menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan. Menurut dokumen register harian N. Hartingh [Gubernur VOC untuk Jawa Utara], pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yg tertutup & hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo & Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, & sekretaris Fockens. Sedangkan yg menjadi juru bahasa ialah Pendeta Bastani. Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya sesudah bersumpah untuk tak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar.
Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, & menentukan daerah mana saja yg akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. [Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III]. Perundingan terpaksa dihentikan & diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan & mendapatkan setengah Kerajaan.
Daerah Pantai Utara Jawa [orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran] yg telah diserahkan pada VOC [orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni] tetap dikuasai VOC & ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yg sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara & Mangkubumi. Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 & surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani ‘Perjanjian di Giyanti yg kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yg diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dlm hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yg berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem [Rijks-Bestuurder] & para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur. Intinya seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda menyetujuinya.
Pasal 4
Sri Sultan tak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem & Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni. Pokok pokok pemikirannya itu Sultan tak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yg selama dlm peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tak akan menuntut haknya atas pulau Madura & daerah-daerah pesisiran, yg telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dlm Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10. 000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yg pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, & W. Fockens. ”
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem [Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer] dengan persetujuan residen/gubernur ialah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yg sebenarnya [bukan di tangan Sultan].

Kerusuhan Setelah Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena dlm perjanian ini kelompok Pangeran Sambernyawa [Raden Mas Said] tak turut serta. Mengapa dlm perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa tak turut serta? Para Pujangga Jawa & Sejarahwan rupanya enggan untuk menulis persoalan detail sekitar perjanjian ini atau paling tak generasi muda diberi suatu informasi yg benar sebagai landasan membangun mentalitas bangsa pentingnya persatuan. Dalam Perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa ialah rivalitas Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa nomer satu di Mataram. Perjanjian Giyanti merupaken persekongkolan untuk menghancurkan pemberontak. Berhubung pemberontak Mangkubumi sudah bertobat & kembali bersama VOC & Paku Buwono III bersekutu kembali untuk maksud yg sama mematahkan & menumpas pemberontakan.
Pemberontak yg dimaksud dlm persekutuan dengan Perjanjian Giyanti ialah Pangeran Sambernyawa. Sebagai pemimpin pemberontak Pangeran Sambernyawa dinyatakan sebagai musuh bersama. Disini Perjanjian Giyanti terjadi bukannya tanpa sebab. Sebab yg utama ialah “penyeberangan Pangeran Mangkubumi” dari memberontak menjadi sekutu VOC & Paku Buwono III. Mengapa & bagaimana Pangeran Mangkubumi yg telah lari dari Keraton & menggabungkan diri dengan pemberontak tiba tiba kembali memerangi pemberontak? Dengan Perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi sudah bukan lagi sebagai pejabat bawahan Paku Buwono III melainkan sebagai penguasa yg demi alasan ketenteraman Kerajaan memainkan peran memerangi pemberontak.
Disini rupanya Sejarah ada yg disembunyikan & ditutup tutupi. Pangeran Mangkubumi yg sebelum Perjanjian Giyanti memusuhi VOC secara tiba tiba berbalik bahu membahu memerangi pemberontak. Apa latar belakang yg mendasari sehingga terjadi persekutuan baru VOC, Paku Buwono III & Pangeran Mangkubumi? Persekutuan Paku Buwono III dengan VOC sudah bukan barang baru lagi karena keduanya bersekutu untuk menumpas pemberontakan. Pangeran Mangkubumi merupaken persoalan tersendiri karena bersama Pangeran Sambernyawa berada dlm posisi memberontak & memusuhi VOC. Pangeran Mangkubumi & Pangeran Sambernyawa tak kompak dlm menghadapi VOC. Kedua nya berselisih & puncak perselisihan itu mengemuka dengan menyeberangnya Pangeran Mangkubumi ke pihak lawan [ VOC ]. Penyeberangan itu dilakukan karena kekuatan bersenjata Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan yg sangat telak & Pangeran Mangkubumi tak ingin kehilangan kekuasaannya atas kekuatan bersenjatanya akibat kalah dengan Pangeran Sambernyawa.
VOC melihat bahwa Pangeran Mangkubumi tak bakalan menyeberang ke pihaknya kalau tak mengalami kekalahan dlm perselisihan itu. Dengan bersama sama Kompeni atau VOC maka musuh Pangeran Mangkubumi bukan lagi VOC/kompeni/Belanda melainkan musuhnya ialah Pangeran Sambernyawa sebagai musuh bersama [ VOC/Kompeni/Belanda, Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi]. Sebelum secara bersama bahu membahu bertindak melenyapkan Pangeran Sambernyawadisini tampak dengan jelas bahwa “pembagian Mataram menjadi Keraton Yogyakarta & Keraton Surakarta” ialah Kesepakatan VOC dengan Pangeran Mangkubumi yg digelar di Giyanti.